Padawaktu masih kuliah dulu paling sering membaca buku layla majnun, saking serunya
sampe-sampe lupa makan dan yang lebih seru ada teman yang baca pada akhirnya
jadi gila setelah ia mempraktekkan apa yang ada dicerita tersebut, ya teman ini
kebetulan mencintai teman kuliahnya, namun sayang perempuan tersebut tidak
membalas cintanya, dalam kondisi galau tersebut ia tetap berusaha untuk
mendapatkan cintanya walaupun sedikit memaksa, namun perempuan tersebut juga
tidak kunjung membalas cintanya, akhirnya teman ini menjadi strees berat kaya
orang gila (majnun) karena cinta bertepuk sebelah tangan. Beda halnya dengan
Layla & Majnun yang saling mencintai. Oya saya tidak bercerita banyak
tentang teman yang majnun tapi menceritakan sejarah singkat tentang Layla dan
Majnun.
“Alkisah,
seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiIiki segala macam yang
diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun.
Tabib-tabib di desa itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi
tidak berhasil. Ketika semua usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan
agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dengan tulus memohon kepada Allah swt. Betapa kesungguhan dalam berdo’alah
yanga akan memberi ketenangan dan jawabannya dan memberikan Anugerah kepada mereka berdua. “Mengapa tidak?”
jawab sang kepala suku. “Kita telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita
coba sekali lagi, tak ada ruginya.”Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil
berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka. “Wahai Segala Kekasih,
jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang
anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk
membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk
membuat-Mu bangga akan anak kami sendiri.”
Dan tidak lama kemudian, doa mereka berdua
dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi
nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang.
Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan
kekaguman. Sejak awal, Qais telahmemperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik
istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan
memainkan musik, menggubah syair dan melukis. Ketika sudah cukup umur untuk
masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan
guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya beberapa anak saja
yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang di
seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.
Di antara mereka ada seorang anak
perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki
kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; karena alasan inilah
mereka menyebutnya Laila-”Sang Malam”. Meski ia baru berusia dua belas tahun,
sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab-sebagaimana lazimnya
kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat
muda, yakni sembilan tahun.
Laila dan Qais adalah teman sekelas.
Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain.
Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi
api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar.
Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang
mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran,
mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak
ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.
Mereka buta
dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui
cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu,
tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah
pasti mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar
bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah.
Mereka tak sanggup lagi menahan Beban malu pada masyarakat sekitar.
Ketika Laila tidak ada di ruang
kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri
jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia
menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan. Ia hanya berbicara
tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila
mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah
Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!
Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun. Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat. Ia menghirup angin dari Barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.
Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad embantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu kamarnya.
Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun. Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat. Ia menghirup angin dari Barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.
Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad embantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu kamarnya.
Majnun masuk ke kamar, sementara
yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah, Laila
tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap
kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus
semilir, ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara
Qais didalamnya. Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin
atau sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak
pernah berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat
terbaiknya, tentang cintanya.
Pada hari ketika Majnun masuk ke kamar Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh. Bibirnya diberi lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu.
Pada hari ketika Majnun masuk ke kamar Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh. Bibirnya diberi lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu.
Ketika
Majnun masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan
datang, ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi. Majnun
berdiri di pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah Laila. Akhirnya, mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali
detak jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan
dan lupa waktu.
Salah seorang wanita pembantu di
rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di luar kamar tuan putrinya. Ia mulai
curiga dan memberi isyarat kepada salah seorang pengawal. Namun, ketika ibu
Laila datang menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah
orang-tuanya bertanya kepada Laila, maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa
yang telah terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar dimatanya
menceritakan segala sesuatunya. Sesudah
terjadi peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di
rumahnya.
Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan bertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama lain, sungguh ia salah besar.
Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang tentang kebahagiaan anak-anak mereka. Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu “Cinta dan Kekayaan”. Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan.
Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku menolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakan kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”
Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan bertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama lain, sungguh ia salah besar.
Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang tentang kebahagiaan anak-anak mereka. Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu “Cinta dan Kekayaan”. Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan.
Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku menolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakan kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”
Ayah Qais
tak dapat membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu anaknya adalah
teladan utama bagi awan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak yang paling
cerdas dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang dapat
dikatakannya. Bahkan, sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya. Sudah
lama orang tidak mendengar ucapan bermakna dari Majnun. “Aku tidak akan diam
berpangku tangan dan melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri,”pikirnya. “Aku harus melakukan sesuatu.”
Ketika ayah
Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta makan malam
untuk menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu, gadis-gadis
tercantik di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisa mengalihkan
perhatian Majnun dari Laila, pikir ayahnya. Di pesta itu, Majnun diam dan tidak
mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan sambil melihat
gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagai kesamaan dengan
yang dimiliki Laila.
Seorang
gadis mengenakan pakaian yang sama dengan milik Laila; yang lainnya punya
rambut panjang seperti Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum mirip Laila.
Namun, tak ada seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya, malahan, tak
ada seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu hanya
menambah kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berang dan
marah serta menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusaha mengelabuinya.
Dengan berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya sebagai berlaku kasar dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga akhirnya jatuh ke lantai dalam keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya memutuskan agar Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.
Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan Altar Kabah, tetapi apa yang ia mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal saja,”Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk anaknya.
Usai
menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak
di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak
kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan
sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya.
Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun.
Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya.
Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi. Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada sesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar dengan rambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur di kakinya. “Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah kejauhan.
Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab. Tampaknya, Majnun tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar.
Betapa
Majnun mudah untuk beradaptasi, ya dalam kondisi apapun ia mudah menyesuaikan
diri dengan sangat baik sehingga wajar saja melihat dirinya sebagai bagian dari
kehidupan liar dan buas itu. Berbagai macam binatang tertarik kepadanya, karena
secara naluri mengetahui bahwa Majnun tidak akan mencelakakan mereka. Bahkan,
binatang-binatang buas seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan
kasih sayang Majnun. Sang musafir itu mendengarkan Majnun melantunkan berbagai
kidung pujiannya pada Laila. Mereka berbagi sepotong roti yang diberikan
olehnya. Kemudian, sang musafir itu pergi dan melanjutkan perjalanannya.
Ketika
tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhimya, sang
kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu. Ia mengundang sang musafir ke
rumahnya dan meminta keteransran rinci darinya. Merasa sangat gembira dan bahagia
bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara untuk menjemputnya.
Ketika
melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah Majnun
dicekam oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya
terjerembab dalam keadaan mengenaskan seperti ini. “Ya Tuhanku, aku mohon agar Engkau
menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang ayah
menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat
persembunyiannya. Dengan bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis,
“Wahai ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu.
Tolong lupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan
meringankan Beban kesedihan ayah.
Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untuk mencintai.” Ayah dan anak pun saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan terakhir mereka. Keluarga Majnun menyalahkan ayah Laila lantaran salah dan gagal menangani situasi putrinya. Mereka yakin bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruh keluarga. Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam kamamya. Beberapa sahabat Laila diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia berpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya.
Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya pada potongan potongan Kertas kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan Kertas kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam potongan-potongan Kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.
Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya. Namun, mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya melantunkan syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau. Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu tentang kisahnya. Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam perjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.
Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, meskipun ini Berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya!
Ketika Amr kembali ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan
ini Berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku
di sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh atau terluka. Ketika
pasukan ‘Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan
kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan
putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya,
aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kuterima,
jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”. Majnun
mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana.
Di
medan pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para
prajurit dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat
mereka dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka
mereka. Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal
mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal
dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?”
Karena
sedemikian bersimpatinya kepada Majnun, ‘Amr sama sekali tidak bisa memahami
hal ini. Apa yang dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya
membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera
meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun. Laila
semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia
nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam
perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang Bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan
serta-merta jatuh cinta kepadanya.
Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu. Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.
Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu. Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.
Akan
tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa
mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena
itu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin,
masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.” Sekalipun mendengar
kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya
beberapa waktu larnanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak
mau memaksa Laila,
melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.
Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan Batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus tinggal di reruntuhan itu.
Perasaannya
kepada Laila tidak berubah dan malah menjadi semakin lebih dalam lagi.
Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Laila”. Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah Anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional.
Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” . “Kini, aku harus
menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik
orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk
cinta, engkau ataukah aku?.Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Laila”. Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah Anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional.
Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” . “Kini, aku harus
Tahun demi
tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal di
reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang sebelumnya. Di
siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat binatangnya. Di
malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan syair-syairnya kepada
berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis
syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah.
Tidak lama
kemudian, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan
ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang sanggup mengusik
dan mengganggunya. Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak
pernah berhasil mendekatinya. Kendatipun ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh
darinya. Berlian dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila berbakti
kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari
istrinya. Hidupnya serasa pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan
kedamaian di rumahnya.
Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali saja ia menangis. Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana, yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Semen tara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama bermalam-malam.
Bagaimana
ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah
Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan
lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan
pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia
masih memikirkan Majnun. Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi
untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau
kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi
tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun.
Pada
suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun
meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun...Majnun.
Rupanya kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri begitu cepat hingga tak lama kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Laila. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah.
Majnun
bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Layla di luar kota . Ia
berkabung dikuburannya selama beberapa hari. Ketika tidak ditemukan cara lain
untuk meringankan Beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia
meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan
tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum
sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi
kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila.
Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad
Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di samping
Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu
kembali.
Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang Sufi bermimpi melihat Majnun hadir di hadapan Tuhan. Allah swt membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan mendudukkannya disisi-Nya. Lalu, Tuhan pun berkata kepada Majnun, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggil- Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum Anggur Cinta-Ku?”
Sang Sufi pun Bangun dalam keadaan gelisah. Jika Majnun diperlakukan dengan sangat baik dan penuh kasih oleh Allah Subhana wa ta’alaa, ia pun bertanya-tanya, lantas apa yang terjadi pada Laila yang malang ? Begitu pikiran ini terlintas dalam benaknya, Allah swt pun mengilhamkan jawaban kepadanya, “Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan segenap rahasia Cinta dalam dirinya sendiri.”
Kisah
tentang Layla dan Majnun ini sedikit banyaknya telah memberi infirasi kepada
kisah cinta Romeo & Juliet, Hamlet dan kisah-kisah romantis lainnya. Dan
penulis Layla Majnun Syaikh Sufi Mawlan Hakim Nizhami Qs, beliau merupakan
penulis sufi terkemuka di abad pertengahan karena roman cinta yang menyayat
hati, yaitu kehidupan cinta dua sang kekasih (Layla & Majnun) artinya “Tergila-gila
akan cinta” diangkat dari Negri Persia.
Sumber : Diambil dari Negeri Sufi
( Tales from The Land of Sufis ), Buku Layla & Majnun karangan Syaikh Sufi Mawlan Hakim Nizhami Qs
No comments:
Post a Comment
Komentar Anda sopan kami hargai