Cara Bijak Menegur Kesalahan Anak

Monday, 14 March 2011



Para pembaca sekalian, sebelum membaca artikel ini saya meminta dari anda untuk  memejamkan mata barang sejenak. Coba ingatlah kembali saat anak anda dilahirkan. Bila anda seorang ibu, cobalah bayangkan ketika pertama kali anda memeluk si buah hati, rasakan hangatnya, rasakanlah detak jantungnya, peluk lebih erat lagi, rasakan, rasakan kemudian atur nafas anda dan keluarkan perlahan-lahan sambil berucap “alhamdulillah. 

Ya seperti itulah kasih sayang seorang ibu, betapa rasa syukur bercampur haru mampu menghilangkan rasa sakit ketika saat melahirkan dan kasih sayang berupa dekapan ini hendaknya bisa dipertahankan dalam artian segala curahan yang di berikan benar-benar mampu memunculkan energi-energi positif kepada diri anak.
Sebagaimana senyuman yang tulus pada setiap orang yang kita jumpai itu akan dapat memberikan  kedamaian pada diri yang kita. Maka oleh sebab itu ketika seorang ibu tersenyum kepada bayinya sebenarnya bayi tersebut dapat merasakan kasih sayangnya.

Harapan orang tua terhadap anak

Pembaca sekalian, saya yakin, saat anak kita lahir dan kemudian benar-benar hadir dalam kehidupan kita, semua menginginkan dengan harapan kelak anak kita tumbuh dan berkembang  dengan baik dan optimal. Dari perkembangan kognitif, afektif dan juga psikomotoriknya, kalau kognitif berarti harapanya kelak bagaimana anak menjadi cerdas, dari segi afektifnya bagaimana anak menjadi lebih percaya diri sopan santun pada orang tua, guru dan teman-temannya.

Namun, tidak selamanya sebuah rencana yang telah kita susun untuk kemudian berharap lebih pada anak kita itu. Perlu diketahui manusia hannya berharap dan berdo’a namun pada akhirnya Tuhanlah yang menetukan. Ya proses tumbuh kembang seorang anak terkadang menyimpan misteri yang sulit diungkap. Namun semua itu janganlah membuat kita putus harapan untuk berusaha secara maksimal dan berdo’a juga secara maksimal.

Seiring dengan berjalannya waktu, tak terasa anak kita sudah tumbuh menjadi anak yang mengerti arti perasaan, perhatian dan segala macam sikap yang diberikan oleh orang tuanya. Orang tua hendaknya dapat memberikan perhatian lebih ketika anak sudah semakin dewasa bukan sebaliknya semakin dewasa anak perhatian dari orang tua semakin tidak ada. Untuk anak yang masih berumur 7 tahun cobalah selalu memberikan aturan-aturan yang sederhana yang mudah dimengerti oleh anak contohnya ; ketika memberikan waktu kapan waktunya belajar, kapan waktunya bermain dan lain sebagainya, dan tidak lupa memberikan reward dan punismen secara berimbang.

Dengan memberikan aturan yang jelas maka dengan sendirinya anak tersebut akan berusaha mengikutinya dengan syarat orang tua selalu memberikan pengertian betapa pentingnya nilai kedisiplinan. Dan selanjutnya membuat kesepakatan apa saja yang mesti diterima anak ketika ia mampu menjalankan aturan itu dan sebaliknya kalau anak melanggar  artinya tidak melakukan aturan yang telah dibuat oleh orang tua juga ada konsekwensinya.

Namun dengan adanya aturan apakah ini akan memberatkan orang tua? Silahkan dijawab sendiri, yang jelas kita kembali keniat awal bahwa ketika orang tua berharap anaknya kelak menjadi anak yang tumbuh dan berkembang dengan baik. Sekarang yang  menjadi pertanyaan adalah  sejauh mana langkah-langkah yang telah dilakukan oleh orang tua, kalau memang menginginkan anak menjadi baik. Kalau kemudian anak bermasalah dalam tanda kutip ia menjalani rutinitas hariannya tidak dikontrol artinya anak tersebut menjalaninya dengan kemauan sendiri maka jangan heran atau kaget apalagi marah-marah hanya gara-gara anak selalu menonton televisi atau selalu bermain games sehingga lupa belajar. Dan orang tua dengan serta merta misalnya menegurnya dengan kemarahan, maka respon yang akan diterima anak itu dapat membuat mentalnya lemah dan lambat laun ia menganggab orang tuanya sudah tidak sayang dengan dirinya.

Persoalan yang lebih jauh adalah, terkadang orang tua sulit  mengendalikan  emosi pada saat menghadapi perilaku anak yang menjengkelkan. Kita menegur anak bukan karena ingin meluruskan kesalahan, tetapi karena ingin meluapkan amarah dan kejengkelan. Tidak mudah memang, tetapi kita perlu terus-menerus belajar meredakan emosi saat menghadapi anak, utamanya saat menghadapi perilaku mereka yang membuat kita ingin berteriak dan membelalak. Jika tidak, teguran kita akan tidak efektif. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka justru semakin menunjukkan "kenakalannya".Ya apa boleh buat karena dari awal tidak ada aturan yang jelas, maka dampaknya marahnya orang tua terkadang juga tidak ada aturannya, kapan waktunya marah dan kapan waktu mengingatkannnya. Dari persoalan diatas kalaupun tidak ada aturan yang jelas maka hendaknya orang tua dapat mengendalikan kemarahannya dan kalau perlu sebisa mungkin marah yang tidak disertai emosi.

Sekali lagi, betapa pun sulit dan masih sering gagal, kita perlu berusaha untuk menenangkan emosi saat menghadapi anak sebelum kita menegur mereka, sebelum kita memarahi mereka.

Selebihnya, apa yang telah saya sebutkan di atas tadi dapat menjadi bahan pertimbangan ada: yaitu, membuat aturan dan ajarkan kepada mereka konsekuensi, perlu diketahui konsekuensi bukanlah ancaman  ataupun interpensi, kegiatan ini lebih kepada sebuah bentuk ketegasan.

Anak-anak belajar dari kita. Mereka suka mengancam karena kita sering menghadapi mereka dengan gaya mengancam. Mereka melihat bahwa dengan cara mengancam, apa yang diinginkannya dapat tercapai. Dari kita, mereka juga belajar meluapkan kemarahannya untuk menunjukkan "keakuannya".

Saya tidak memungkiri, banyak pengaruh luar yang bisa mengubah perilaku anak. Teman-teman sebaya, khususnya yang sangat akrab dengan anak, bisa mempengaruhi anak. Ia meniru temannya dari cara bicara, bertindak, mengekspresikan kemarahan, sampai dengan kata-kata yang diucapkan. Kadang anak memahami apa yang dikatakan, tetapi terkadang anak tidak tahu apa maksudnya. Ia hanya menirukan apa yang didengar.

Perbincangan kita kali ini bukanlah tentang peniruan. Karena itu marilah kita kembali berbincang bersama bagaimana ancaman kepada anak, acapkali tidak menghasilkan perubahan yang baik. Ancaman tidak banyak bermanfaat untuk menghentikan kenakalan anak atau perilaku yang membuat kita sewot. Sebaliknya, ancaman justru membuat anak belajar berontak dan menentang.

Salah satu sebabnya, anak merasa orangtua tidak menyayangi ketika kita meneriakkan ancaman di telinga mereka. Selain itu, kita sering lupa menunjukkan apa yang seharusnya dikerjakan anak manakala kita asyik melontarkan ancaman.

Lalu apa yang perlu kita lakukan?

Yang pertama, kita kembali pada prinsip qubhunal 'iqab bila bayan. Adalah buruk menyiksa tanpa memberikan penjelasan. Sekali waktu kita perlu duduk bersama dalam suasana yang mesra dengan anak untuk berbicara tentang aturan-aturan.

Kedua, kita bisa membuat komitmen bersama dengan anak untuk mematuhi aturan. Misalnya, mintalah kepada anak agar tenang ketika ada tamu. Kalau ada yang perlu disampaikan, atau anak menginginkan sesuatu, hendaknya menyampaikan kepada orangtua dengan baik-baik dan bersabar bila belum bisa memenuhinya.

Bersama dengan komitmen ini kita bisa membicarakan dengan anak konsekuensi apa yang bisa diterima bila anak mengamuk di saat ada tamu. Sekali lagi, konsekuensi ini disampaikan dengan nada yang akrab. Bukan ancaman.

Bila anak melakukan hal-hal negatif yang sangat mengganggu, orangtua bisa mengingatkan kembali kepada anak dan lagi-lagi tidak dengan nada mengancam. Di sinilah letak beratnya. Kita acapkali mudah kehilangan kendali. Kita mudah membelalak saat marah, tetapi lupa untuk konsisten.

Astaghfirullahal 'adzim. "Ibu Sudah Bilang Berkali-kali."

Perilaku yang menjengkelkan memang lebih mudah diingat, lebih membekas dan cenderung menggerakkan kita untuk segera bertindak. Sebaliknya perilaku positif cenderung kurang bisa mendorong kita untuk memberi komentar, kecuali jika perilaku tersebut benar-benar sangat mengesankan. Konsumen yang kecewa pada suatu produk, akan segera menggerutu ke sana kemari, meski kekecewaan itu sebenarnya tidak seberapa. Tetapi konsumen yang puas cenderung akan diam saja, kecuali jika kepuasan itu sangat menakjubkan. Orangtua dan anak juga demikian. Orangtua mudah ingat perilaku negatif anak, sementara anak mungkin tidak bisa melupakan tindakan orangtua yang menyakitkan hatinya.

Salah satu kebiasaan umum orangtua yang menyakitkan hati anak sehingga bisa melemahkan citra dirinya adalah ungkapan, "Ibu sudah berkali-kali bilang, tapi kamu tidak mau mendengarkan."

Ungkapan ini memang efektif untuk membuat anak diam menunduk. Tetapi ia diam karena harga dirinya jatuh, bukan karena menyadari kesalahan. Jika ini sering terjadi, anak akan memiliki citra diri yang buruk. Dampak selanjutnya, konsep diri dan harga diri (self esteem) anak akan lemah. Anak melihat belajar memandang dirinya secara negatif, sehingga lupa dengan berbagai kebaikan dan keunggulan yang ia miliki. Sebaliknya orangtua juga demikian, semakin sering berkata seperti itu kepada anak, kita akan semakin mudah bereaksi secara impulsif. Kita semakin percaya pada anggapan sendiri bahwa anak-anak kita memang bandel, menjengkelkan dan susah dinasehati.

Tidak mudah memang, tetapi kebiasaan memarahi anak dengan ungkapan "Bapak kan sudah bilang berkali-kali" atau yang sejenis dengan itu, harus kita kikis secara sadar dari sekarang. Kita perlu menguatkan tekad untuk berkata yang lebih positif, betapa pun hampir setiap komentar kita masih buruk.

Jangan Cela Dirinya, Cukup Perilakunya Saja

Suatu saat, kira-kira jam setengah dua dini hari  anak kaka ipar bangun dari tidurnya. Ia kemudian  beranjak dan mengajak anak saya yang masih berumur 1,5 tahun untuk bercanda, padahal anak saya ini baru saja tertidur. Sebagaimana ibunya, saya juga sempat emosi. Hampir-hampir saya tidak dapat mengendalikan emosi, tetapi saya segera tersadar bahwa yang dilakukan oleh anak tersebut merupakan cerminan dari dari rasa sayangnya kepada anak saya. Nah, apa yang terjadi jika saya mencela anak tersebut? Apalagi kalau saya memelototi dan menghardiknya keras-keras, iktikad baik itu bisa berubah menjadi kemarahan sehingga anak justru mengembangkan permusuhan kepada anak saya. Ia bisa belajar membenci anak saya.

Apa yang saya ceritakan hanyalah sekedar contoh. Tidak jarang anak menampakkan perilaku "negatif", padahal ia tidak bermaksud demikian.

Suatu ketika, pulang dari play-group anak  keponakan, berkata "Om kurang ajar." Setelah saya tanya maksudnya, ternyata dia tidak mengerti makna kurang ajar. Ia mengatakan, "Kurang ajar itu ya main-main, sembunyi-sembunyian."

Kita sangat mudah keliru menangkap maksud anak. Kita gampang terjebak dengan apa yang kita lihat. Karenanya kita perlu belajar untuk lebih terkendali dalam menilai anak. Jangan sampai terjadi anak punya maksud baik, tetapi justru kita cela dirinya sehingga justru mematikan inisiatif-insiatif positifnya. Bahkan andaikan ia memang melakukan tindakan yang negatif, dan ia tahu tindakannya kurang baik, yang kita perlukan adalah menunjukkan bahwa ia seharusnya bertindak positif. Kita luruskan perilakunya. Bukan mencela dirinya. Sibuk mencela anak membuat kita lupa untuk bertanya, "Kenapa anak saya atau anak didik kita berbuat demikian?" Di samping itu, celaan pada diri -dan bukan pada tindakan-bisa melemahkan citra diri, harga diri dan percaya diri anak. Pada gilirannya, anak memiliki motivasi yang rapuh. Na'udzubillahi min dzalik.

Sebagian kita merasa tidak merasa mencela anak, padahal ucapan kita menyudutkan anak. Misalnya, "Kamu kenapa tidak mau mendengar nasehat bapak? Heh? Kamu selalu saja ngeyel."

Pada ucapan ini, fokus kemarahan kita adalah anak sebagaimana kita tunjukkan dengan kata kamu. Bukan tindakannya yang salah.

Jangan Katakan "Jangan"

Barangkali tidak ada kata yang lebih sering diucapkan oleh orangtua pada anak melebihi kata "jangan". Kita menggunakan kata "jangan" begitu melihat anak melakukan tindakan yang kurang kita sukai. Kita juga menggunakan kata "jangan", bahkan di saat kita mengharap anak melakukan yang lain.

Padahal kata "jangan" tidak membuat mudah mengerti apa yang seharusnya dilakukan. Akibatnya, anak sulit memenuhi harapan orangtua, sementara orangtua bisa semakin jengkel karena merasa nasehatnya tidak didengar anak. Orangtua merasa anaknya suka ngeyel ( Mucil, orang Banjar bilang).

Lalu, apakah kita tidak boleh memberi larangan? Saya tidak dapat membayangkan betapa hancurnya sebuah dunia tanpa ada larangan sama sekali.

Begitu pun pada sebuah keluarga. Tetapi bercermin pada Nabi, jangan katakan "jangan" pada saat ia sedang melakukan kesalahan. Tunjukkanlah apa yang seharusnya dilakukan. Atau bersabarlah sampai ia menyelesaikan maksudnya, sebagaimana ketika seorang Badui di zaman Nabi kedapatan kencing di masjid. Kalau kita tidak mau anak bermain pasir di teras, katakanlah, "Nak, main pasirnya di teras saja, ya?" Singkat, padat, jelas dan positif. Bukan, "Ayo, jangan main pasir di teras. Saya pukul nanti." karena bagi anak seperti ini sangat menyakitkan.

Kapan seharusnya kita sampaikan larangan? Saat terbaik adalah ketika anak sedang akrab dengan orangtua. Dalam suasana netral, larangan yang kita berikan pada anak akan lebih efektif. Anak lebih mudah memahami. Mereka bisa menerimanya sebagai aturan. Bukan menganggapnya sebagai serangan kepada dirinya.

Khusus mengenai bagaimana melarang anak, insya-Allah akan kita perbincangkan pada kesempatan lain. Kali ini, kita perlu untuk beristighfar atas keruhnya hati dan sikap isti'jal (tergesa-gesa). Semoga Allah memberi ketenangan, kelembutan dan kejernihan niat. Semoga Allah lindungi iman kita dan anak-anak kita, sehingga tidaklah kita mati kecuali dalam keadaan ridha kepada Allah dan Allah ridha kepada kita. Aamiin ya Robbal aalaiin...

No comments:

Post a Comment

Komentar Anda sopan kami hargai

 
Copyright © 2016. ARTICLE ARPAN.
Design by ARPAN NEWS. & Distributed by Free Blogger Templates
Creative Commons License