Membentuk Karakter Anak berawal dari Rumah

Wednesday 13 April 2011

Dalam mendidik anak sebagian orang tua menganggab itu adalah tanggung jawab sekolah, pandangan seperti ini harus dirubah. Perlu diketahui sekolah hanya pasilitator, pelayan dan pengayom atau sekedar membantu anak didiknya dalam mengembangkan dan memotivasi tiap-tiap siswa.
Saya sebagai guru pendidik khusus terkadang sedih dan prihatin ketika ada orang yang terkadang hanya berharap pada sekolah saja dalam artian, sekolah adalah penentu segalanya dalam merubah kognitif, kepribadian, dan moralnya. 

Banyak permasalahan yang terjadi salah satu contoh masalah kasus buliyying katakanlah anak suka mengolok temannya atau suka mencuri barang temannya. Ada satu kasus yang cukup menjadi pelajaran yaitu ketika ada orangtua yang sukanya main ancam pada anaknya, ini terjadi pada sekolah di luar daerah Balikpapan. Dalam hal mengancam pada seorang anak kalau itu dimasukkan dalam dunia pendidikan apalagi dalam kajian psikologi itu sangat tidak baik buat perkembangan anak tersebut.

Ya ini salah satu contoh saja katakanlah nama anak ini si A, ia sering berbuat masalah kepada temannya maupun terhadap adiknya sendiri. Suatu hari ibunya melihat peristiwa yang dilakukan si A, maka dengan serta merta Ibu tersebut menghakiminya bahkan mengancamnya. Nak tidak boleh nakal ya"? Nanti ibu jewer kupingmu sampai putus lo?,” ancam seorang ibu. Dalam waktu singkat muka sang anak menjadi merah ketakutan mendengar ancaman ibu. Terbesit dalam hati sang anak, nanti kalau jadi orangtua kalau anak nakal harus dijewer juga. Artinya apa dalam kondisi sadar si anak ini sudah dapat merekam perkataan ibunya untuk kemudian ia simpan dalam otak bawah sadarnya.

Dalam cerita singkat di atas seorang ibu tanpa sadar menanamkan karakter kepada anak bahwa sebuah kesalahan harus mendapat punishment yang berat seperti itu, yang sebenarnya mungkin perkataan ibu tersebut biasa saja tapi bagi anak itu luar biasa berkesan. Contoh kasus di atas mengisyaratkan perlu adanya kehati-hatian orang tua dalam melakukan sesuatu punishment. Bagaimanapun falsafah Jawa berlaku, orang tua itu seperti guru, yang “di gugu lan di tiru”.

Masalah yang juga menjadi perhatian adalah waktu bagi seorang anak yang rata-rata bersekolah di lingkungan sekolah yang menerapkan program full day school habis hanya di dua lingkungan. Lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga (rumah).
Maka, seharusnya anak diberi pengertian bahwa prilaku tersebut tidak baik atau tidak soleh  dan yang lebih penting ada sinkronisasi antara orang tua dan guru di sekolah yang berkesinambungan. Jangan sampai sekolah hanya dijadikan sarana menitipkan anak. “Perlu ada komunikasi yang intensif antara guru dan orangtua, agar perkembangan anak bisa terpantau dengan baik.
Orang tua harus pandai-pandai membedakan antara sesuatu yang wajib dan mubah dalam kehidupan keluarga. Orang tua itu salah satu fungsinya mendidik, mengasuh, dan mengarahkan anak menuju masa depan yang baik. “Tentunya juga diimbangi pemahaman agama yang sesuai dengan pemahaman anak bersangkutan.

Selain itu, sudah waktunya orang tua membatasi anak melihat TV. “TV itu media pembentuk karakter anak yang cepat tapi juga merusak,”. Senada dengan yang dijelaskan ustadzah Rahmah, beliau pernah memberikan penjelasan tentang bagaimana membentuk karakter anak.

Menurutnya, karakter anak terbentuk pada tiga lingkungan. Rumah, sekolah, dan pergaulan. Dari ketiganya itu factor yang cukup siginifikan mempengaruhi yakni factor rumah atau keluarga. Sebab, lanjutnya, porsi waktu anak lebih banyak bersama orang tua yaitu di rumah. “Apalagi antara anak dan orang tua memiliki hubungan batin yang kental, jadi bagaimanapun orang tua tetap jadi figure bagi anak,” terangnya. 

Guru  di sekolah  juga harus  memberikan contoh bagaimana seharusnya orang tua di rumah bersama anak di samping kesibukannya yang menyita. Orang tua perlu memperhatikan anak, mulai apa yang terjadi dan dipelajari di sekolah. Shering kepada anak perlu untuk evaluasi perkembangan apapun di dalam diri anak.

Orang tua harus menyempatkan waktu bersama anak. Menemani belajar, sholat, dan bermain. Berkomunikasi dengan anak, walau sekedar “say hello” dari tempat kerja. “Dengan begitu anak tidak akan merasa sendiri terlebi anak juga merasa di perhatikan.

Apa yang telah dijelaskan oleh Ustadzah Rahmah, saya kira sangat sejalan dengan apa yang telah diterapkan di SD Luqman Al-Hakim Balikpapan, dimana anak didik benar-benar diperhatikan terutama yang sangat mendasar yaitu masalah sholat lima waktu baik disekolah maupun di rumah. Dan itu hanya dapat dilakukan ketika orang tua mau bekerjasama dengan guru dan sekolah dalam menjaga dan menumbuhkan akhlakul qarimah pada setiap siswa. Oleh karena itu di SDIT Luqman Balikpapan setiap mau dimulai pembelajaran selalu diawali dengan shoalt Dhu'ha dan pada akhir pembelajaran diakhiri dengan sholat Dzuhur berjamaah. Semoga kita semua dapat mengantarkan putra-putri kita tuk mencapai cita-cita dan keridho'an-Nya..aamin...

No comments:

Post a Comment

Komentar Anda sopan kami hargai

 
Copyright © 2016. ARTICLE ARPAN.
Design by ARPAN NEWS. & Distributed by Free Blogger Templates
Creative Commons License