Antara Demokrasi Panjat Pinang & Sholat Berjamaah

Monday 11 November 2013

Permainan panjat pinang adalah permainan anak Indonesia sebenarnya yang main tidak hanya anak2 orang dewasapun sangat suka dengan permainan ini apalagi kalau 17 agustusan.
Lomba Panjat pinang sering menjadi tontonan yang sangat dinantikan oleh masyarakat. Riuh rendahnya suara penonton memberikan semangat untuk para peserta. Suara yang memberikan dorongan untuk dapat menyelesaikan dan menuntaskan sebuah harapan. Terkadang juga suara yang sering melemahkan semangat peserta. Namun itu semua adalah pesona panjat pinang yang selalu dinanti karena sangat menghibur.
Para penonton mampu memberikan saran dan kritikan terhadap peserta. Karena penonton sebagian adalah teman dekat atau keluarga yang pemanjatnya kebetulan ada yang terlibat. Terkadang perlombaan ini adalah permainan yang sangat berkesan bagi saya meskipun saya tidak pernah mengikuti lomba panjat pinang, hanya jadi penonton tapi bukan saya tidak bisa manjat, kalau masalah memanjat apa saja saya bisa kecuali pohon tauge..he..he.. bercanda. Sebenarnya dari lomba ini ada pembelajaran hidup yang dapat diambil dan diterapkan di kehidupan. Terlepas itu baik dan benar. Namun banyak hal yang kurang proposional dalam mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengadakan panjat pinang menggunakan batang pinang yang besar agar kelihatan kuat dan tidak mudah goyah Ibaratnya kalau mau membangun negri ini harus memiliki pondasi yang kuat. Dan yang kedua batangnya harus dilumuri oli atau gemuk agar tidak mudah dipanjati, ibarat orang kalau mau sukses harus melalui rintangan yang cukup sulit karea licin jalan yang harus dilalui. Dan proses untuk mencapai puncak  membutuhkan kerjasama team. Secara disiplin ilmu motivasi setiap orang pertama yang bisa mencapai puncak adalah mereka yang bermental penakluk. Hal ini merujuk kepada Adversity Quationt. Sedangkan menurut teorinya Mc Celland adalah orang yang mampu memaksimalkan need achievement (kebutuhan berprestasi). Kemudian mengkombinasikan dengan need of power (kebutuhan menguasai). Dimana sebuah prestasi mampu memberikan kuasa penuh kepada orang pemberani dan punya visi.
Namun disisi lain panjat pinang menyisakan sebuah tradisi yang memiliki nilai-nilai negative. Untuk mendapatkan posisi pertama membutuhkan pengorbanan dengan menginjak bagian bawah sebagai kekuatan pertahanan. Mereka yang dibawah mendapatkan bagian hadiah yang sedikit dan terkadang tidak mendapatkan apa-apa kecuali bamper bagi pemenang. Tradisi ini sering terlihat diranah politik kekuasaan ataupun politik karier yang kurang baik. Pada politik kekuasaan seseorang akan memanfaatkan orang bawah sedemkian rupa dengan memberikan harapan untuk mendapatkan kesempatan dan bagian tertentu dari hadiah pemenang. Moment pemilu adalah moment untuk memberikan harapan bagi masyarakat sebagai landasan pertama untuk dapat naik tangga kekuasaan. Rakyat biasa dijadikan lapisan terbawah, elit masyarakat menjadi lapisan tengah yang juga ikut menginjak rakyat biasa. Sedangkan elit penguasa menjadi teratas dengan sigap mengambil peluang terbaik menjadi pemenang.
Dalam tradisi panjat pinang juga ada persaingan antar kelompok. Masing masing kelompok saling mendahului untuk bisa sampai ke atas. Satu kelompok mencoba untuk dapat menjadi pemenang sedangkan yang lain mencoba meancang ancang bagaimana strategi untuk sampai keatas bila kelompok pertama tidak mampu. Berbagai kata demotivasi meluncur untuk memberikan tekanan demi tekanan. Hal ini ibarat partai politik yang mencoba untuk mendapatkan kekuasaan dengan menaikkan pemimpin yang diusung oleh kelompok. Bila gagal maka kelompok lain akan mengambil alih. Terkadang kelompok yang tidak mampu mengutus pimpinan keatas tidak mendapatkan apa-apa dari kelompok pemenang.
Disatu sisi juga terjadi peleburan kelompok dan mesti mengalah antara nomor satu dengan hadiah utama, dan ketua kelompok selanjutnya sebagai orang kedua dengan hadiah sekedarnya. Hal ini tergantung dengan negosiasi dan hitungan sumberdaya yang digunakan. Inilah potret yang sering digunakan dalam pemilihan Presiden dan wakil presiden dan pilihan pasangan lainnya. Maka wajar bila President mendapatkan banyak hadiah sedangkan wakil mengurut dada karena menjadi orang nomor dua.
Apakah sebegitu buruknya panjat pinang sebagai sebuah analogi? Tidak ada banyak pembelajaran manajemen strategi dan kekuatan team untuk mencapai suatu tujuan pribadi yang terdapat dalam tujuan bersama.
Lomba Panjat pinang yang selalu diadakan pada setiap 17 an adalah metaphor tentang bagaimana wajah Indonesia hari ini ternyata sedikit banyaknya memberikan bentuk wajah gambaran demokrasi yang penuh permainan dan intrik.
Kalau seandainya bangsa ini bisa belajar bagaimana melihat pemimpin itu, lihatlah pada kegiatan sholat berjamaah yang teratur, satu orang pemimpin berada pada barisan depan dan kemudian shaf kedua diisi oleh barisan makmum yang semuanya patuh kepada sang imam, tidak ada seorang makmum yang mendahului imam semuanya teratur.
Semoga riuh rendahnya politik untuk melahirkan penguasa mampu belajar dari tradisi pemimpin di shalat berjamah dan bukan politik panjat pinang yang masih menyisakan banyak perdebatan antara baik dan buruk, benar dan salah, etis dan tidak etis.
Semuanya berpulang kepada kita, untuk menentukan dibarisan mana kita, atau mampu menjadi pemimpin namun tidak mau mengambil tanggungjawab. Dan malah sibuk bersorak sorai diluar untuk mendapatkan pujian sekaligus cacian dari penonton yang akan bertepuk tangan sambil mengumbar banyak kata. Wallahu a’lam bissawab.


No comments:

Post a Comment

Komentar Anda sopan kami hargai

 
Copyright © 2016. ARTICLE ARPAN.
Design by ARPAN NEWS. & Distributed by Free Blogger Templates
Creative Commons License